Adiksi di Era Digitalisasi

Dopamine Detox
3 min readJan 17, 2021

Ditulis oleh: Agung Fajar Prakoso

Sumber: Unsplash

Tahun 2020 merupakan tahun yang berat bagi semua orang. Hari-hari tidak dapat dijalani seperti semula. Handphone, dan dompet tidak cukup untuk bekal kita beraktivitas. Masker dan hand sanitizer tidak luput dari genggaman. Semua aspek dalam kehidupan sehari-hari terdampak sehingga memaksa kita untuk beradapatasi dengan keadaan.

Adaptasi adalah hal yang lumrah bagi setiap makhluk hidup untuk menghadapi tekanan dari lingkungan di sekitarnya. Tahun 2020 secara serentak memberikan tekanan bagi kita yang telanjur hidup nyaman . Interaksi tatap muka dibatasi, keramaian dikurangi, dinyatakan positif? Silakan lanjut isolasi. Beruntung teknologi sudah berkembang sangat pesat sehingga teknologi sangat membantu manusia beradaptasi dalam keadaan kahar seperti saat ini.

Pandemi ini, semua orang dianjurkan untuk tetap di rumah menyebabkan segala kegiatan bermigrasi ke dunia maya. Sekolah, pekerjaan, bahkan panggung hiburan beralih ke platform digital. Terasa aneh saat beberapa bulan lalu saya masih merasakan suasana belajar via video conference. Suasana kelas tidak terasa hidup seperti pada saat kelas tatap muka, dan kerap kali saya terdistraksi dengan tabs lain di browser saya. Beberapa orang menganggap ini tidak efektif, namun cepat atau lambat ini akan menjadi hal yang lumrah seiring berkembangnya zaman.

Tetapi, bukankah kita sudah bergantung pada teknologi setiap hari? Sebelum pandemi pun kita sudah terpaku dengan layar yang ada di depan kita dan berselancar di dunia maya tak kenal waktu. Adaptasi menggunakan berbagai gawai pun terlihat seperti omong kosong. Memang teknologi sudah sangat membantu kita sehari-hari, terutama di masa sulit seperti ini. Segala kebutuhan dapat dipenuhi oleh alat di genggaman dan inilah yang justru menjadi perangkap bagi kita.

Tanpa kita sadari, atensi kita tertuju pada gawai-gawai kita mulai dari bangun tidur hingga larut malam. Saya pun merasakan hal tersebut dimana dalam beberapa bulan terakhir ini saya sedang dalam masa ‘menganggur’ sehingga adiksi terhadap gawai pun semakin akut. Instagram, Twitter, Netflix dan beberapa video games selalu menjadi andalan untuk membunuh rasa bosan.

Rutinitas seperti ini bak menebar garam di tengah laut. Energi habis karena kegiatan yang kurang produktif. Terlalu lelah menghadap layar, skill yang tidak bertambah, atau menjadi kurang bahagia menyebabkan orang berpikir untuk keluar dari zona nyaman ini. Perlu keinginan yang kuat untuk keluar dari zona nyaman ini dan sebagian besar keinginan ini harus datang dari diri sendiri.

Buku menjadi salah satu tempat saya lari dari rutinitas tersebut. Beberapa buku saya beli dalam beberapa bulan terakhir ini untuk memulihkan minat baca saya yang sejak lama dipenuhi debu bersama majalah Bobo saya yang menempati gudang bertahun-tahun lamanya. Awalnya cukup berat saya memulai kebiasaan baru ini. Baru saja membaca 1 halaman sudah terdistraksi oleh dering notifikasi. Namun, seiring berjalannya waktu, saya dapat melakukannya tanpa kesulitan yang berarti.

Salah satu buku yang sedang saya baca pada saat ini berjudul ‘Offline: Finding Yourself in the Age of Distractions’ karya Desi Anwar, jurnalis yang sudah banyak sumbangsihnya terhadap dunia jurnalisme di Indonesia. Buku ini merefleksikan bahwa saat ini kita hidup di dunia yang penuh distraksi. Tiada menit berlalu tanpa notifikasi, media sosial seperti tempat mencari eksistensi, dan membuat kita semakin acuh terhadap diri sendiri maupun orang-orang di sekitar kita.

Berkaca dari buku tersebut, saya menyadari bahwa di era yang serba terkoneksi ini membuat kita sering terlena dengan rutinitas yang kurang perlu. Pandemi ini sudah cukup memberikan kesempatan pada kita untuk berkontemplasi memikirkan apakah hal-hal yang kita lakukan dapat memberi manfaat?

Lagipula, dianjurkannya kita untuk tetap di rumah membuat kita bisa mengatur waktu lebih bijak lagi. Waktu yang digunakan untuk mengembangkan kompetensi diri, merawat kesehatan tubuh, bahkan menjaga hubungan baik dengan keluarga di rumah akan sangat lebih baik ketimbang berselancar di media sosial setiap waktu. Adaptasi bukan hanya fasih menggunakan teknologi, tapi juga diperlukan adanya kontrol diri karena pada dasarnya teknologi diciptakan untuk memudahkan kita, bukan membuat kita menjadi ketergantungan.

Mungkin pandemi ini merupakan cara alam menegur kita yang kerap kali tidak bersyukur. Hidup nyaman dengan akses ke berbagai teknologi dan memiliki waktu yang fleksibel selama pandemi adalah salah satu privilege yang tidak dapat dinikmati oleh semua orang. Waktu bukanlah barang murah yang dengan mudah dihambur-hamburkan dan teknologi tentu saja membuat segalanya menjadi mudah. Hanya orang bijak yang akan memanfaatkan waktu dan segala privilege yang dimiliki dengan sebaik-baiknya untuk memberi manfaat bagi dirinya dan orang lain.

--

--

Dopamine Detox

Hi, friends! Dopamine Detox is a media that presents the articles that we make. We are beginners and still learning, support us by seeing our work on Medium.